Rabu, 13 Januari 2010

PR MEMBOHONGI PUBLIK

BAB I

PENDAHULUAN

Saya memilih judul “PR Membohongi Publik” karena semakin banyak praktisi PR yang dengan sengaja melakukan kebohongan-kebohongan tentang fakta yang ada dan terjadi di dalam Perusahaan atau Organisasinya demi mendapatkan perhatian publik, maupun membentuk citra yang baik di masyarakat walaupun dengan melakukan hal-hal yang melanggar Kode Etik Profesi Public Relation.

Dalam Dunia Kehumasan, kredibilitas itu mutlak penting, kita tidak hanya harus dipercaya, tetapi juga harus senantiasa mengemukakan segala sesuatu seperti apa adanya, sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Pada hakikatnya, humas adalah pemahaman dan pengetahuan yang menjurus pada niat baik (goodwill) serta reputasi, dan semua itu tergantung pada keyakinan. (Frank Jefkins, 1995 : 163)

Konsekuensinya, prinsip kejujuran adalah aturan paling mendasar berlaku di dalam kegiatan seorang praktisi PR, dan itu berarti kegiatan-kegiatan Humas tidak akan membawa manfaat apapun jika tidak dipercaya. Di dalam Dunia Humas, kita bertanggungjawab untuk menyajikan informasi faktual secara akurat, tanpa pengurangan maupun penambahan. Para penerima informasi itulah yang berhak untuk menentukan sikap atau memberi komentar terhadap pernyataan PR tersebut. (Frank Jefkins, 1995 : 163)

Menegakkan kewajiban moral adalah panggilan luhur yang bukan sekadar mendukung pandangan organisasi, penegakan moral juga membuat professional PR bisa benar-benar bertindak sebagai kesadaran etis dari organisasi. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 141)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika dan Etika Profesi

1. Pengertian Etika menurut Onong Uchjana Effendy ada dua pengertian, yaitu:

a. Pengertian Etika secara luas dalam bahasa Inggris Ethics, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Ethica yang berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai dalam kaitannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya itu benar atau salah, baik atau buruk, dengan kata lain, Etika adalah filsafat moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak. (Onong Uchjana Effendy, 2002 : 164)

b. Pengertian Etika secara sempit dalam bahasa Inggris Ethics, secara etimologis berasal dari bahasa Latin Ethicus atau bahasa Yunani Ethicos yang berarti himpunan asas-asas nilai atau moral. (Onong Uchjana Effendy, 2002 : 164)

2. Pengertian Etika menurut Kenneth E. Andersen, dalam bukunya Introduction to Communication Theory and Practice adalah suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi penerapannya. Ia bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu kebaikan atau keburukan dan bagaimana seharusnya. ( Onong Uchjana Effendy, 2002 : 165)

3. Pengertian Etika menurut Dennis L. Wilcox, Phillip H. Ault dan Warren K. Agee adalah sistem nilai dengan apa orang menentukan apa yang benar dan tidak benar, yang adil dan tidak adil, yang jujur dan yang tidak jujur. Etika terungkap dari perilaku moral dan situasi tertentu. Perilaku individu diukur tidak hanya terhadap hati nuraninya sendiri, melainkan juga norma-norma yang dapat diterima dan telah ditetapkan dalam masyarakat, profesi, dan organisasi. (Dennis L. Wilcox, Phillip H. Ault dan Warren K. Agee, 2006 : 148)

4. Pengertian Etika menurut Soleh Soemirat dan Ardianto Elvinaro adalah hal yang berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan, suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam keadaan sadar, sehingga patut dihukum. (Soleh Soemirat dan Ardianto Elvinaro, 2005 : 170)

5. Pengertian Etika Profesi menurut Bambang Herimanto, Assumta Rumanti, Indrojiono adalah norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ukuran-ukuran yang diterima dan ditaati oleh para pegawai atau karyawan, berupa peraturan-peraturan, tatanan yang ditaati semua karyawan dari organisasi tertentu, yang telah diketahuinya untuk dilaksanakan, karena hal tersebut melekat pada status dan jabatannya. Etika Profesi adalah kebiasaan yang baik atau peraturan yang diterima dan ditaati oleh para karyawan dan telah mengendap menjadi bersifat normatif. (Bambang Herimanto, Assumta Rumanti, Indrojiono, 2007 : 255)

Etika profesi sangat penting terutama dalam rangka pembinaan karyawan, untuk meningkatkan mutu serta mewujudkan pribadi yang jujur, bersih, berwibawa, karyawan yang semakin ikut memiliki organisasi, tanggung jawab dalam keterlibatannya untuk mengembangkan organisasinya, rasa ikut memiliki besar. Etika profesi menjiwai karyawan dalam menjalankan tugasnya, sehingga mampu menyelesaikan dengan seksama, etos kerja tinggi dan penuh tanggung jawab sehingga memperoleh hasil kerja yang memuaskan. Akhirnya, etika profesi dapat membentuk pribadi yang bersangkutan secara mantap, bagi organisasi mewujudkan citra baik dan bisa dipercayai oleh publik, maka produktivitas semakin meningkat, kehidupan organisasi berkembang pesat. (Bambang Herimanto, Assumta Rumanti, Indrojiono, 2007 : 255)

B. Landasan Filosofis Dari Etika

Filsafat Moral adalah studi tentang tindakan apa yang dianggap benar, atau secara moral dapat dipertahankan, dan tindakan apa yang keliru atau tidak pantas secara moral. Para filsuf moral meneliti persoalan etika dengan melihat pada prinsip dasar moral dan justifikasi mengapa prinsip itu dianggap etis.

Prinsip moral ini adalah Maxim (pedoman) yang memandu perilaku. Ketika filsuf menemukan maxim moral umum atau diterima secara universal, maka keputusan etis akan menjadi lebih mudah bagi semua orang. Misalnya, ”Jangan membunuh!” adalah prinsip moral yang diterima umum berdasarkan prinsip nilai-nilai kemanusiaan.Para filsuf menggunakan berbagai metode untuk menentukan apa-apa yang merupakan maxim atau prinsip moral, tetapi kebanyakan menggunakan proses pembuatan keputusan yang rasional, logis dan analitik. (Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007:137)

Pendekatan dalam filsafat moral dalam pembuatan keputusan ada dua pendekatan, yaitu :

1. Filsafat Utilitarian

Filasafat Utilitarian menitikberatkan utilitas (hasil yang diharapkan) dari keputusan untuk menentukan apa yang benar untuk dilakukan. Utilitarianisme didasarkan pada konsekuensi (akibat) atau hasil yang diperkirakan dari sebuah keputusan. Konsekuensi dari sebuah keputusan dipakai untuk mengukur kelayakan moral suatu tindakan, sehingga prinsip etikanya didefinisikan berdasarkan konsekuensi atau hasil yang diharapkan.

Utilitarianisme berpendapat bahwa tindakan etis harus menimbulkan kebaikan terbanyak untuk jumlah orang terbanyak. Tipe filsafat ini menekankan pada pelayanan kebaikan publik atau mayoritas di dalam masyarakat. Filsafat ini, diperkenalkan pertama kali oleh Jeremy Bentham dan kemudian diperbaiki oleh muridnya John Stuart Mill, ia berusaha memaksimalkan manfaat dari keputusan untuk orang sebanyak-banyaknya dan meminimalkan konsekuensi negatif bagi orang lain.

Untuk menentukan moralitas suatu tindakan dari perspektif utilitarian, professional PR akan mempertimbangkan mana yang menghasilkan kebaikan terbesar untuk orang dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Praktisi akan memilih alternatif yang memaksimalkan hasil positif dan meminimalkan hasil negatif atau merugikan.

Utilitarianisme merupakan pendekatan pendekatan untuk membuat keputusan etis di dunia bisnis, tetapi pendekatan ini mengandung sejumlah masalah. Lebih mendahulukan mayoritas akan membuat organisasi tidak bisa beradaptasi dengan perubahan yang dilakukan oleh publik dan stakeholder lainnya. Pendekatan ini juga mensyaratkan agar profesional PR mesti memperkirakan secara akurat konsekuen dari setiap keputusan. Akan tetapi, banyak konsekuensi bisa tidak terduga dan karenanya kemungkinan besar terjadi kesalahan dalam analisis utilitarian. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 137-138)

2. Filsafat Deontologi

Etika Deontologi difokuskan pada prinsip moral. Pendekatan ini juga disebut ” Nonkonsekuensialis” karena pendekatan ini menyatakan bahwa etika seharusnya dipandu oleh kewajiban ketimbang konsekuensi. Deontologi dikembangkan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant (tahun 1724-1804) sebagai upaya untuk mencari prinsip dasar yang universal.

Deontologi merupakan pendekatan paling luas dalam etika dan didefinisikan sebagai teori etika yang menekankan tugas atau kewajiban sebagai basis moralitas. Dalam deontogi, sifat etis dari sebuah tindakan tidak tergantung pada hasilnya karena yang memprediksikan hasil itu di luar kemampuan atau kendali manusia.

Deontologi berpendapat bahwa tugas atau kewajiban moral kita menunjukkan pada arah tindakan yang benar. Bagaimana kita menentukan di mana tugas itu berada dan mana yang benar secara etis telah dijelaskan melalui tes keputusan (categorical impretative). ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007:138)

Aspek Categorical Impretative ada dua macam, yaitu :

a. Niat (Intention) seseorang

Niat mennurut Kant, mengacu pada kehendak mendasardi balik pembuatan suatu keputusan. Menurut filsafat ini, niat atau motivasi yang mementingkan diri sendiri atau melakukan yang terbaik hanya untuk pembuat keputusan adalah tidak bermoral.Deeontologi menyatakan bahwa niat baik (goodwill) adalah satu-satunya pedoman pembuatan keputusan bermoral yang sesungguhnya, karena semua motivasi lain dapat diselewengkan. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 139)

b. Mempertahankan martabat dan rasa hormat pada orang lain ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 139)

Manfaat menggunkan Filsafat Deontologi dalam PR ada delapan, yaitu:

a. Dalam situasi etis, keputusan dibuat berdasarkan apa yang benar dan apa yang salah, bukan siapa yang paling banyak mendapat keuntungan. Pernyataan ini mendeskripsikan kejujuran keadilan dan universalitas dari deontologi,

b. Mengizinkan komunikator untuk mempertimbangkan perspektif dari beragam stakeholder,

c. Memahami nilai dan prinsip moral yang mereka anut,

d. Menghilangkan bias dalam pembuatan keputusan organisasional ,

e. Membuat PR bisa menasehati koalisi dominan untuk melakukan tindakan yang benar berdasarkan prinsip moral, bukan berdasarkan biaya, kepentingan sendiri atau pengeluaran,

f. Responsif terhadap perubahan tren atau isu melalui komunikasi yang terbuka,

g. Membuat organisasi bisa bereaksi terhadap perubahan lingkungan terlepas dari berapa banyak anggota publik atau siapa mayoritasnya,

h. Mengizinkan minoritas untuk mempengaruhi mayoritas dalam suatu isu, dan ini merupakan aspek penting bagi kelompok aktivis minoritas. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 139-140)

C. Tujuan Etika dalam Profesi Public Relation

Sejak kecil manusia belajar apa saja, mana yang boleh dilakukan, apa yang tidak boleh atau dilarang untuk dilakukan. Kemudian setelah dewasa atau ditempat kerja ada bermacam-macam ketentuan yang harus dipatuhi. Semua ketentuan, keharusan, peraturan, dan lain-lain merupakan norma kelakuan, tingkah laku, dan ukuran-ukuran apakah sikap dan perilaku kehidupan manusia betul atau salah. (Bambang Herimanto, Assumta Rumanti, Indrojiono, 2007 : 247-248)

Etika harus diterapkan pada setiap perilaku praktisi Humas. Integritas pribadi merupakan bagian utama dari profesionalisme. Para praktisi Humas yang baik adalah mereka yang senantiasa berusaha memberikan nasehat-nasehat yang terbaik, tidak suka menyuap atau disuap apalagi korupsi, serta selalu mengemukakan segala sesuatu atas dasar fakta-fakta yang ada, bukan mengada-ada atau hanya untuk menyenangkan kalangan tetentu saja (misalnya kalangan pers yang memang sering menentukan opini masyarakat atas sosok suatu lembaga atau perusahaan). (Frank Jefkins, 1995 : 163-164)

Tetapi etika tidak membuat seseorang menjadi baik, hanya menunjukkan kepada seseorang baik buruknya perbuatan orang itu, meskipun demikian etika turut mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik dalam arti kata melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan sebagaimana seharusnya. Manusia memang hidup dalam rentangan jaringan norma berupa peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan. (Onong Uchjana Effendy, 2002 : 165)

Etika Profesi sangat penting, terutama dalam rangka pembinaan karyawan, untuk meningkatkan mutu serta mewujudkan pribadi yang jujur, bersih, berwibawa, karyawan yang semakin ikut memiliki organisasi, tanggung jawab dalam keterlibatannya untuk mengembangkan organisasinya, rasa ikut memiliki besar. Etika profesi menjiwai karyawan dalam menjalankan tugasnya sehingga mampu menyelesaikan dengan seksama, etos kerja tinggi dan penuh tanggung jawab sehingga memperoleh hasil kerja yang memuaskan. Etika profesi dapat membentuk pribadi yang bersangkutan secara mantap, bagi organisasi mewujudkan citra baik dan bisa dipercayai oleh publik, maka produktivitas semakin meningkat, kehidupan organisasi berkembang pesat. (Bambang Herimanto, Assumta Rumanti, Indrojiono, 2007 : 255)

Profesi PR tidak terlepas dari Etika, kepatuhan praktisi PR terhadap aturan Etika yang membedakan Profesi PR dengan profesi yang lain. Etika sangat penting bagi kalangan praktisi PR karena ia memiliki kekuasaan besar dalam membuat keputusan yang dapat mempengaruhi setiap aspek masyarakat.

Beberapa kritikus mengatakan bahwa PR pada dasarnya bertujuan untuk kejahatan, dan mereka menyamakannya dengan ”pemelintiran” fakta, propaganda, dan manipulasi. Sebenarnya tujuan PR pada dasarnya baik, yaitu untuk memfasilitasi dialog, meningkatkan pemahaman dan membangun hubungan yang saling menguntungkan. Untuk meraih itu seorang PR harus mempunyai komitmen pada tanggung jawab sosial dan etika. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 136-137)

D. Landasan Etika Profesionalisme

Masyarakat atau asosiasi profesi menentukan kebijakan sendiri untuk mengatasi penyelewengan, menegakkan moralitas kolektif, dan memastikan agar kalangan professional melakukan apa yang dinamakan perilaku yang benar. Tujuan uatama dari Etika Profesionalisme adalah untuk melindungi klien yang mendapatkan pelayanan profesional. Kebijakan dalam profesi juga melindungi praktik profesional, menjaga kepercayaan publik dan dukungan untuk privilese profesional. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 141)

Landasan Etika Profesionalisme ada empat macam, yaitu :

1. Etika Profesional

Etika Profesional dan pemberlakuan aturan perilaku sangat penting, karena untuk melindungi orang-orang yang mempercayakan dirinya pada kalangan profesional dan untuk melindungi profesi itu sendiri, yaitu privilese profesi, status profesi dan otoritas profesi.

2. Pentingnya Kepercayaan

Hubungan klien dengan profesional berbeda dengan hubungan mereka dengan penyedia jasa keahlian dan layanan lainnya. Perbedaannya berpusat pada hakikat dari hubungan berdasarkan kepercayaan. Ketika seseorang membutuhkan jasa profesional, maka ia akan mempercayakan semuanya, yaitu informasi pribadi atau rahasia pribadi maupun hartanya pada profesional, yang bahkan informasi tersebut tidak diberikan pada sahabat atau kerabatnya dan seorang Privilese profesional akan menjaga kerahasiaannya.

Apabila seseorang telah melakukan hal tersebut, maka ia telah masuk ke dalam hubungan berdasarkan kepercayaan, yaitu seorang profesional menguasai orang tersebut dengan memegang amanah dan diwajibkan untuk bertindak demi kepentingan orang tersebut. Kewajiban inilah yang membedakan profesional dengan pekerjaan yang lain. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 142)

3. Privilese Profesional

Seorang Profesional biasanya mempunyai kedudukan istemewa di dalam masyarakat, karena mereka melakukan hubungan berdasarkan kepercayaan. Selain itu, kalangan profesional melakukan pekerjaan yang dianggap berharga, sebagian karena mereka mempunyai keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat. Seorang profesional tidak hanya harus meluangkan banyak waktu dan usaha untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian itu, tetapi ia juga harus berkomitmen untuk menjaga profesi mereka dengan menghormati kewajiban mereka sendiri.

Ketika seorang profesional melanggar hubungan kepercayaan ini atau mengeksploitasi klien, atau ketika ia melakukan praktik di bawah standar yang telah ditentukan, maka tindakan tersebut tidak hanya mengancam kehidupan klien tetapi juga seluruh profesi tersebut. Privilese professional didasarkan pada kepercayaan publik terhadap keahlian dan kebenaran tindakan profesional.

Untuk melindungi klien dan kedudukan istemewa, profesi membuat kode etik dan standar praktik. Kode etik ini mempunyai hokum dan kekuatan memberi sanksi apabila ada para profesional melakukan pelanggaran dalam kerjanya. Argumen atau pendapat di balik pembuatan kode etik dan penegakannya didasarkan pada keyakinan bahwa kerja profesional melibatkan pengetahuan dan keahlian khusus dan berharga yang penting bagi kebaikan publik dan keahlian serta pengetahuan yang sangat rumit, sehingga hanya mereka yang dianggap layak sajalah yang boleh berpraktik. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 142-143)

4. Tanggung Jawab Sosial ( Corporate Social Responsibility)

Profesi juga harus memenuhi harapan dan kewajiban moral masyarakat. Komitmen untuk melayani masyarakat berlaku pada praktisi individual dan kolektif. Ini berarti bahwa, sebagai wujud dari perilaku yang benar, professional harus mempertimbangkan masyarakat luas saat membantu memecahkan problem klien. Ini juga berarti bahwa asosiasi profesional melakukan kekuatan kolektifnya sebagai agen moral untuk kebaikan masyarakat. Untuk memenuhi tanggung jawab sosialnya, profesional diharapkan melakukan lebih dari sekadar memberikan pengetahuan dan keahlian, mereka juga bertanggung jawab untuk meningkatkan lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan tersebut. PR dinilai berdasarkan dampaknya terhadap masyarakat.

Manfaat PR bagi masyarakat adalah :

a. PR mempromosikan persaingan bebas yang etis dalam hal ide, informasi, pendidikan di pasar opini publik,

b. PR menunjukkan sumber dan tujuan peserta dalam perdebatan,

c. PR memperkuat standar perilaku yang baik.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang PR:

a. PR menekan atau membatasi persaingan ide,

b. Menyembunyikan atau memfitnah pihak lain tentang sumber-sumber dari upaya PR untuk mendapatkan citra yang baik dari masyarakat,

c. Membiarkan praktik yang tidak berkompeten dan tidak etis.

Aspek Positif PR yang bertanggung jawab sosial adalah :

a. PR meningkatkan praktik profesional dengan melakukan kodifikasi dan menegakkan perilaku etis dan standar kinerja,

b. PR meningkatkan perilaku organisasi dengan menekankan perlunya persetujuan publik,

c. PR melayani kepentingan publik dengan mengartikulasi semua sudut pandang dalam forum publik,

d. PR melayani masyarakat yang terpecah-pecah dan berbeda-beda dengan menggunakan komunikasi untuk menghilangkan misskomunikasi dan perselisihan,

e. PR memenuhi tanggung jawab sosialnya untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dengan membantu sistem sosial yang dapat beradaptasi dengan perubahan dan lingkungan.

Aspek Negatif PR dalam praktiknya di masyarakat adalah :

a. PR mendapatkan keuntungan karena mempromosikan dan mendukung kepentingan khusus, terkadang dengan mengorbankan kesejahteraan publik,

b. PR meramaikan saluran komunikasi yang sudah padat dengan berbagai macam kejadian yang dibuat-buat dan ungkapan-ungkapan palsu yang mengacaukan dan membingungkan publik, atau PR telah membohongi publik demi mendapatkan citra yang baik di mata masyarakat dengan memberikan informasi yang berbeda dengan kenyataan.

Contoh hal-hal yang dapat dilakukan PR dalam mewujudkan tanggung jawab sosial :

a. Pengumpulan dana jutaan dollar untuk membangun gedung-gedung kampus,

b. Memberi penghargaan untuk pengajar,

c. M emberikan beasiswa untuk mahasiswa Universitas,

d. Kampanye untuk menghilangkan penyakit dan pelecehan,

e. Mengurangi kemiskinan,

f. Meningkatkan gizi,

g. Membangun rumah untuk tunawisma,

h. Melemahkan diskriminasi ras, etnis, dan religius serta mengurangi konflik,

i. Memberikan laba bagi investor,

j. Menciptakan lapangan kerja,

k. Menyediakan barang dan jasa bagi konsumen,

l. Meningkatkan pemahaman akan problem global dan hubungan internasional.

Aspek positif dan aturan (kode etik) harus digunakan oleh para praktisi PR Individual maupun Profesi karena sebagai syarat dalam melayani klien mereka, dan secara keseluruhan dipercaya untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. sebagai syarat dalam melayani klien mereka. Syarat sebagai seorang praktisi PR harus menjadi agen moral dalam masyarakat. Praktik profesional yang etis harus mengutamakan kepentingan publik dan tanggung jawab sosial di atas keuntungan pribadi, dan harus mampu melakukan analisis rasional dalam menghadapi dilema etika. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 143-145)

E. Etika dan Citra

Pentingnya pemahaman etika bagi para pejabat humas karena menyangkut penampilam (profile) dalam rangka menciptakan citra (image) organisasi yang diwakilinya. (Soleh Soemirat dan Ardianto Elvinaro, 2005 : 171)

Citra adalah dunia sekeliling kita yang memandang kita, sedangkan penampilan adalah definisi kita sendiri dari titik pandang mengenai kita. Sifat penampilan selalu berorientasi ke masa depan, dan citra menimbulkan efek tertunda serta menjadi subjek berbagai kendala dan gangguan. Citra dan penampilan tidak pernah serupa secara cepat. Citra menjadi sasaran faktor-faktor yang sama sekali di luar kontrol kita. Mengenai faktor-faktor yang dapat kita pengaruhi dan yang mempangaruhi citra kita, jelas bahwa kegiatan mengkomunikasikan informasi yaitu cara menyalurkan penampilan kita sangatlah penting karena merupakan kebijksanaan informasi. (Soleh Soemirat dan Ardianto Elvinaro, 2005 : 172)

F. Kode Etik

Kode Etik adalah seperangkat norma profesional yang digunakan sebagai syarat oleh para profesi dan harus ditaati. ( Scoot M. Cultip, Allen H. Center dan Glen M. Broom, 2007: 160)

Sedangkan Kode Etik menurut Bambang Herimanto, M. Assumpta Rumanti dan FX. Indrojiono adalah aturan-aturan susila yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh seluruh anggota yang bergabung dalam suatu profesi. Jadi Kode Etik merupakan persetujuan bersama yang timbul secara murni dari pribadi para anggota. Kode Etik merupakan serangkaian peraturan yang disepakati bersama guna menyatakan sikap atau perilaku para anggota profesi. Kode Etik lebih mengingatkan pembinaan para anggota sehingga mampu memberikan sumbangan yang berguna dalam pelayanannya kepada masyarakat. (Bambang Herimanto, Assumta Rumanti, Indrojiono, 2007 : 253-254)

Suatu Kode Etik Profesional hanya akan efektif apabila benar-benar diterapkan dalam rangka mengatur sepak terjang para praktisi yang menekuni profesi yang bersangkutan. Jika perilaku para praktisi dibiarkan menyimpang, apalagi jika mereka juga enggan bergabung dalam asosiasi-asosiasi profesi, maka kode etik itu tidak lebih dari setumpuk kertas dan sederet tulisan tanpa makna. Sehungan dengan masih begitu banyaknya kritikan, kecurigaan dan sikap masa bodoh terhadap keberadaan profesi humas, maka kode etik kehumasan tersebut mutlak perlu ditegakkan. Tentu saja penegakkan kode etik tidak akan sanggup sepenuhnya menghapus semua perilaku menyimpang, namun sedikit banyak membawa manfaat yang berarti.

Sekarang sudah terdapat beberapa kode etik Internasional seperti Kode Athena (Code of Athens). Kode etik ini ditetapkan secara resmi oleh International Public Relation Association (IPRA) di Athena, Yunani pada tahun 1965 dan disempurnakan lagi di Teheran, Iran pada tahun 1968. Penekatan kode etik tersebut adalah pada hak-hak asasi manusia. Sampai sejauh ini IPRA telah memiliki anggota yang berasal dari 70 negara. Meskipun mengandung kekuatan, tetapi kode etik tersebut juga tidak luput dari kelemahan. Sentimen-sentimen terhadap kode etik tersebut cukup banyak, dan tentu saja itu semua tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun lembaga pembuat kode etik itu sendiri memang seringkali tidak memiliki perangkat pendukung yang memadai untuk memastikan bahwa semua aturan yang digariskannya tela dipatuhi. Selain itu, seringkali juga tidak tersedia catatan-catatan pelanggaran yang jelas dan terperinci. Bahkan boleh dikatakan bahwa sampai sejauh ini belum ada tindak pelanggaran yang dikenai sanksi nyata.

Sementara itu, Kode Etik Praktek (Code of Practice) yang diterapkan oleh British Institute of Public Relation tampaknya lebih efektif dalam penerapannya. Begitu seseorang diangkat sebagai anggota, maka ia langsung teriakt kewajiban untuk mematuhi semua peraturan yang tertuang dalam kode etik praktek tersebut. Setiap pelanggaran akan mengakibatkan suatu sanksi. Tidak seperti IPRA, lembaga ini memiliki suatu komite pengawas (Professional Practices Commitee) yang menerima dan memproses pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh sesorang melalui direkturnya. Di samping itu, lembaga ini juga memiliki Komite Disiplin yang memiliki wewenang bertindak tanpa persetujuan dewan pimpinan dalam menangani berbagai macam persoalan yang tergolong amat serius. Kasus yang sangat berat memang jarang terjadi, namun lembaga tersebut sudah pernah beberapa kali menerapkan sanksi-sanksi maupun peringatan yang dipublikasikan pada pihak pelanggar.

Public Relation Consultants Association juga memiliki kode etik serupa dalam mengatur perilaku segenap anggotanya yang khusus terdiri dari konsultan-konsultan humas (keanggotaan lembaga ini tidak berdasarkan individu, melainkan lembaga atau perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa humas). Pada tahun 1990 dan 1991 terjadi perubahan-perubahan radikal atas struktur kedua kode etik tersebut. Yang pertama, PRCA mengubah kode etik bakunya menjadi sebuah piagam yang lebih terinci. Piagam ini tidak hanya menyebutkan apa-apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi juga hal-hal yang harus dikerjakan. Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1990 terjadi perubahan radikal yang kedua. IPR mengadakan revisi total atas klausul 9 yang memang tergolong kontroversial dan tidak populer karena melarang perhitungan pembayaran jasa-jasa humas berdasarkan hasil-hasil yang telah diperoleh.

Pada rapat umum berikutnya tahun 1991, berlangsunglah perubahan radikal berikutnya. Kode etik IPR yang lama diganti sepenuhnya dengan kode etik yang sama sekali baru. Kode etik IPR yang baru tersebut sangat mirip dengan kode etik milik PRCA, sehingga terciptalah suatu kesesuaian antara kode etik dari kedua asosiasi kehumasan di Inggris tersebut (PRCA dan IPR). (Frank Jefkins, 1995:166)

1. Kode Etik (Code of Professional Conduct) IPR

a. Ketentuan Praktek Humas

Setiap Anggota wajib :

1). Menjalankan tugas positif yakni berpegang teguh pada standar-standar tertinggi dalam melangsungkan setiap praktek humas, serta senantiasa menjalin hubungan yang adil dan jujur dengan pihak atasan dan atau klien, dengan sesama praktisi humas, dengan para profesional lainnya, dengan pihak pemasok, pihak perantara, segenap media komunikasi, para pegawai, dan yang paling utama, dengan khalayak.

2). Menyadari, memahami dan menaati ketentuan ini, termasuk segenap amandemennya, dan berbagai ketentuan lainnya yang akan dipadukan ke dalamnya, selalu berusaha menyesuaikan diri dengan setiap petunjuk dan rekomendasi yang berupa pedoman atau bimbingan pelaksanaan praktek humas yang diberikan oleh IPR, serta memperhatikan dan melaksanakan pedoman atau bimbingan tersebut yang tertuang dalam setiap lembaran dokumen petunjuk praktek.

3). Menjunjung tinggi kode etik ini dan bekeerja sama dengan para anggota IPR lainnya untuk menegakkan wibawanya. Setiap anggota yang membiarkan saja terjadinya suatu pelanggaran juga akan digolongkan sebagai pelanggar. Staf atau pegawai dari suatu lembaga anggota yang melakukan suatu pelanggaran harus langsung ditindak oleh lembaga anggota yang bersangkutan.

4). Menghindarkan diri dari setiap tindakan atau hal-hal yang akan dapat mencemarkan nama baik IPR, serta reputasi dan kepentingan profesi humas. (Frank Jefkins, 1995:166-167)

2. Pasal-pasal Kode Etik Humas Amerika

a. Anggota harus memperlakukan para klien atau majikan dengan jujur, yang lama dan yang baru, dengan para praktisi sejawat, dan publik umum.

b. Anggota harus menjalankan kehidupan profesionalnya sesuai dengan kepentingan umum.

c. Anggota harus setia pada kebenaran dan kesaksamaan serta pada standar yang telah diterima secara umum dengan pengertian yang baik.

d. Anggota tidak dibenarkan menunjukkan kepentingan yang bertentangan atau bersaing tanpa persyataan persetujuan yang terlibat, yang diberikan setelah suatu penyingkapan fakta, juga tidak dibenarkan menempatkan dirinya pada posisi di mana kepentingan anggota bertentangan atau mingkin bertentangan dengan tugasnya terhadap klien, atau lain-lainnya, tanapa penyingkapan penuh kepentingan-kepentingan demikian kepada semua yang terlibat.

e. Anggota harus menjaga kepercayaan dari klien atau majikan, baik yang sekarang maupun yang dulu, dan tidak dibenarkan menerima upah suatu pekerjaan yang melibatkan penyingkapan atau pemnfaatan keprcayaan untuk kerugian atau praduga klien atau majikan.

f. Anggota tidak dibenarkan melibatkan diri dalam praktik yang cenderung merusak integritas saluran komunikasi atau proses pemerintahan.

g. Anggota tidak dibenarkan menyampaikan secara sengaja informasi yang salah atau menyesatkan dan diwajibkan secara hati-hati untuk mnehindarkan penyampaian informasi yang salah atau menyesatkan.

h. Anggota harus siap untuk mengidentifikasi di depan umum nama klien atau majikan yang untuk kepentingannya komunikasi massa diselenggarakan.

i. Anggota tidak dibenarkan menggunakan nama orang atau organisasi sebagai pengakuan terhadap suatu sebab yang diumumkan, atau pengakuan yang bebas atau tidak memihak, sebenarnya harus melindungi kepentingan khusus atau pribadi anggota, klien atau majikan.

j. Anggota tidak dibenarkan merugikan reputasi atau praktik profesional praktisi lainnya secara sengaja. Akan tetapi, jika bersalah melakukan praktik yang tidak etis, tidak sah, atau tidak jujur, termasuk pelanggaran kode ini, maka anggota tersebut harus segera menyampaikan informasi itu kepada yang berwenang di masyarakat untuk diambil tindakan yang sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Pasal XIII dari Anggaran Rumah Tangga.

k. Anggota yang dinyatakan sebagai aksi dalam rangka pelaksanaan Kode ini, diwajibkan muncul, kecuali kalau dibebaskan karena alasan yang tepat oleh Dewan Pertimbangan.

l. Anggota, dalam melaksanakan pelayanannya kepada klien atau majikan, tidak dibenarkan meneriam pembayaran, komisi atau kebaikan lain yang berharga dari siapa pun yanh lain dari klien atau majikan, yang diberikan setelah suatu penyingkapan fakta secara jelas.

m. Anggota tidak menjamin tercapainya hasil-hasil yang khusus di luar pengawasan langsung anggota itu.

n. Anggota harus secepat mungkin memutuskan hubungan dengan setiap organisasi atau individu jika hubungan itu mensyaratkan perlakuan yang bertentangan dengan pasal-pasal kode ini. (H. Frazier Moore, 2004: 661-662)

3. Penegakan Kode Etik

Setiap anggota Asosiasi berkewajiban untuk menjunjung tinggi Kode Etik Profesional (Code of Professional Conduct) dan berkewajiban pula untuk bekerja sama dengan segenap anggota lainnya. (Frank Jefkins, 1995:171)

4. Tindakan Pelanggaran terhadap Kode Etik

Seandainya ada salah satu anggota yanga atas dasar alasan tetentu merasa yakin bahwa ada anggota lain yang terlibat dalam praktek-praktek yang tidak bisa dikatakan sesuai dengan kode etik yang diterapkan, maka ia berkewajiban untuk melaporkan kepada Dewan Asosiasi (Council of Association) melalui ketua, wakil ketua, atau Pimpinan Eksekutif Asosiasi. Dewan akan segera mengambil tindakan-tindakan yang dinilai perlu dalam rangka mengatasinya, sesuai dengan Anggaran Dasar Asosiasi (Articles of Association). Anggota yang terkena dakwaan tadi, jika ia merasa tidak puas atau jika ia merasa dirugikan, juga berhak untuk mengajukan banding pada Senat Asosiasi (Senate of Association) sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Anggaran Dasar. (Frank Jefkins, 1995:170)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan adanya kode etik bagi para praktisi PR, karena kode etik PR mampu memberikan sumbangan yang berguna dalam pelayanannya kepada masyarakat. Sehingga perilaku seorang praktisi PR dalam melakukan praktik kepada klien maupun masyarakat.

Sebagai faktor pendukung, setiap organisasi harus memiliki etiket, kode etik, dan etika profesi yang harus diterapkan, karena untuk mewujudkan citra yang baik dan berkualitas.

B. Saran

Suatu Kode Etik Profesional harus benar-benar diterapkan dalam rangka mengatur sepak terjang para praktisi yang menekuni profesi yang bersangkutan. Jika ada perilaku para praktisi yang menyimpang, atau mereka yang enggan bergabung dalam asosiasi-asosiasi profesi, maka kode etik kehumasan tersebut mutlak perlu ditegakkan. Tentu saja penegakkan kode etik tidak akan sanggup sepenuhnya menghapus semua perilaku menyimpang, namun sedikit banyak membawa manfaat yang berarti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jefkins, Frank. 1995. Public Relation. Jakarta: Erlangga

2. Herimanto, Bambang dan Rumanti, Assumta dan Indrojiono. 2007. Public Relation dalam Organisasi. Yogyakarta: Santusta

3. Effendy Uchjana, Onong. 2002. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: Remaja Rosda Karya

4. L. Wilcox, Dennis dan H. Ault, Phillip dan K. Agge, Warren. 2006. Public Relation Strategi dan Watak. Batam: Interaksara

5. Soemirat, Soleh dan Ardianto, Elvinaro. 2005. Dasar-dasar Public Relation. Bandung: Remaja Rosda Karya

6. M. Cutlip, Scott dan H. Center, Allen dan M. Broom, Glen. 2007. Effective Public Relation. Jakarta: Kencana

  1. Moore, H. Frazier. 2004. Humas Membangun Citra Dengan Komunikasi. Bandung:Remaja Rosda Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar